CONTOH
KASUS MANUSIA DAN KEGELISAHAN
Read more ...
Waspadalah! Banjir Jakarta
Diprediksi Pekan Ketiga Januari 2015
Jakarta - Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) memprediksi curah hujan tinggi akan turun pada
Desember 2015 mendatang. Banjir di Jakarta diperkirakan terjadi pada minggu
ketiga Januari 2015.
"Curah hujan di DKI
Jakarta diperkirakan 100-200 mm per hari. Ancaman banjir pada minggu ketiga
Januari 2015 akan tersebar di 37 kecamatan, 125 kelurahan dan 634 RW,"
ujar Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB Tri Budiarto.
Hal itu disampaikan Tri
dalam jumpa pers 'Penanganan Bencana Asap dan Banjir Nasional, khususnya di
Jakarta' di kantor BNPB, Jl Juanda, Jakarta Pusat, Selasa (18/11/2014).
Menurut Tri, diperkirakan
jumlah penduduk yang akan terdampak banjir yakni 276.999 jiwa. Penduduk yang
terancam jiwa diperkirakan 20 orang, penduduk yang sakit 19.304 orang dan
diperkirakan jumlah penduduk yang akan mengungsi 122.417 orang.
BNPB telah siap mengatasi
banjir di Jakarta berupa membangun tanggul pengaman rob di Kamal Muara, Muara
Baru, Kali Baru, Martadinata, dan Muara Angke, membangun sumur resapan, baik
dangkal, sedang dan dalam. Serta mengeruk sungai, waduk dan saluran,
normalisasi Kali Pesanggarahan, Kali Angke, dan Kali Sunter serta revitalisasi
Kali Ciliwung.
Selain BNPB, Kemensos
memastikan stok logistik aman di semua daerah rawan banjir dan longsor.
Kemensos akan menyiapkan cadangan beras pemerintah masing-masing kabupaten atau
kota 100 ton dan provinsi 200 ton.
"Jika masih kurang
bisa dimintakan ke pusat," tuturnya.
Basarnas, lanjut Tri
menyiapkan Tim SAR yang dilengkapi dengan peralatan penyelamatan dan
pertolongan di semua kantor SAR dan pos SAR di seluruh Indonesia. TNI Polri
juga siap dimobilisasi di wilayah kerja masing-masing berdasarkan wilayah
daerah setempat.
Opini :
kegelisahan sebenarnya bisa diatasi tetapi terkadang manusia sulit untuk
mengatasinya. kegelisahan dapat di lawan dengan ketenangan, tetapi itu
sulit diatasi oleh manusia. dalam keadaan tertekan manusia sering
mengalami kegelisahan, egelisahan selalu menyelimuti manusia. salah
satu cobaan pada diri manusia adalah kegelisahan. dan bedanya kegelisahan ini
dengan cobaan yang lain adalah kita dapat merasakannya walaupun tak ada yang
menyakiti kita. kegelisahan dapat terjadi saat diri kita berada dalam situasi
ketidakpastian, kesepian, ataupun keterasingan. bahkan kita tidak mengetahui
penyebab kita gelisah. dan memang hidup itu penuh misteri. manusia tidak akan
pernah terlepas dari hal semacam kegelisahan yang menjadi misteri hidup selama
manusia hidup.
Sumber :
http://news.detik.com/read/2014/11/18/121010/2751431/10/waspadalah-banjir-jakarta-diprediksi-pekan-ketiga-januari-2015Resensi Novel Yang Berkaitan dengan
Sinopsis Novel BERTEMAN DENGAN KEMATIAN
Hmm.. baru tadi Siang saya di ceritakan oleh Teman
saya Hanita Nurilina Dini, waktu beberapa Minggu kemarin Ia ke Toko buku
Gramedia ada sebuah buku kalau menurut saya Novel ini mirip seperti SKUT (Surat
Kecil untuk Tuhan) hanya saja perbedaan kalau Keke penderita Kanker, sedangkan
Sinta Ridwan penderita Lupus (Odapus).. dari situ saya mulai tertarik dan
Mendengarkan pembicaraan teman sebangku saya,,
Ok, saya Ceritakan Sedikit Sinopsis tentang Novelnya :
" Aku Mau Hidup Seribu Tahun Lagi"
SATU kata yang patut ditiru dari gadis 25 tahun ini, "semangat". Ya, di antara hari-harinya yang dibayangi penyakit lupus, Sinta Ridwan tak pernah patah semangat untuk membuat banyak karya. Menulis puisi, dan novel menjadi salah satu bagian hidupnya. Kajian naskah kuno pun jadi pilihannya untuk dieksplorasi.
Dan benar kata Bung Chairil Anwar. Aku mau hidup seribu tahun lagi...
DEMIKIAN Sinta Ridwan menulis di halaman terakhir bukunya, Berteman dengan Kematian Catatan Gadis Lupus (Ombak2Oio). Sebuah penutup yang terasa berbeda dengan judul buku tersebut. Namun, tampaknya gadis cantik kelahiran Cirebon n Januari 1985 ini, merasa perlu menutup bukunya dengan cara seperti itu untuk melukiskan semangat hidupnya. Meski tahu, sebagai orang pengidap lupus (odapus) ia setiap hari harus berteman dengan ancaman kematian melalui penyakit yang terus mengancam berbagai organ tubuhnya.
Buku ini diluncurkan di Gedung Indonesia Menggugat (GIM) Bandung, Minggu 9 Mei 2010, bertepatan dengan peringatan Hari Lupus Sedunia. Lewat buku yang ditulis dengan gaya catatan harian itu, Sinta tak hanya menuturkan ihwal penyakit lupus dan bagaimana mulanya ia divonis menjadi seorang odapus. Akan tetapi, nyaris mengisahkan seluruh dirinya, dari masa kecil, perceraian kedua orang tuanya, kematian orang-orang yang disayanginya, perjuangannya bekerja keras di Bandung, gaya hidup, hingga perubahan besar pada dirinya dalam memandang hidup ketika lupus bersarang dalam tubuhnya.
Dan satu hal yang amat terasa dalam buku ini adalah semangat hidup. Semangat seorang gadis yang sejak remaja ditempa oleh berbagai pengalaman pahit. Tak cukup hanya penderitaan psikologis akibat keluarganya yang berantakan, penderitaan fisik akibat lupus pun harus diterimanya. Dan itu terjadi ketika ia sedang tumbuh sebagai seorang mahasiswi yang penuh dengan cita-cita.Namun, lupus tidaklah lantas menyurutkan semangat hidup dan cita-citanya. Meski penyakit yang belum ada obatnya ini telah menyerang tubuhnya, setamat menyelesaikan pendidikan di sebuah sekolah tinggi bahasa, sambil bekerja, Sinta meneruskan pendidikannya ke Pascasarjana Jurusan Filologi Unpad. Kini, sambil menyelesaikan tesisnya, ia masih terus menulis puisi. "Secangkir Bintang" merupakan kumpulan puisinya yang pertama.
Semangat ini pula yang terasa dalam gaya penulisan bukunya. Seluruh penderitaan sampai yang paling mendebarkan sekalipun, ditulis dengan gaya khas anak muda. Polos, santai, penuh celetukan konyol, dan jauh dari tujuan mendramatisasi nasib demi mendapat empati, apalagi untuk minta dikasihani. Justru dengan cara seperti inilah kesedihan itu amat terasa. Kebersahajaan dan kepolosan seorang-gadis menuturkan penyakit yang mengancam jiwanya, tanpa sedikit pun ia mengeluh.Ingin menulis novel
Bersahaja dan polos, begitulah Sinta Ridwan dalam kesehariannya. Berpakaian santai, selalu berbicara diiringi senyum, kadang terkesan manja dan agak cerewet. Namun sesekali ia bisa bicara penuh semangat, terutama tentang nasib naskah-naskah kuno yang tak terawat dan banyakdi perjualbelikan ke negara asing. Atau tentang aksara Sunda, perjalanannya meneliti naskah kuno ke berbagai kota di Kalimantan, cita-citanya meneruskan studi ke Leiden Belanda, atau mendirikan perpustakaan naskah-naskah Nusantara. Termasuk ceritanya tentang Naskah Wangsaker-ta.
"Saya ingin menulis novel tentang Wangsakerta,"ujar gadis manis ini bersemangat. Wangsakerta merupakan seorang pangeran Cirebon yang merupakan tokoh penting dalam proses penulisan sejarah Nusantara tahun 1698.Memang aneh, di tengah kegandrungan anak-anak muda memilih studi bidang keilmuan yang mudah mendapatkan lapangan kerja, gadis yang pernah menjadi pemain sofbol dan vokalis group band di Cirebon ini, memilih bidang studi filologi yang melulu mengurusi naskah kuno. Alasan ia memilih kajian sastra kuno atau filologi tak bisa dilepaskan dari kesukaannya pada sastra. Di bidang yang satu ini, gadis yang sebelumnya perokok dan suka begadang ini telah menerbitkan kumpulan puisinya yang berjudul "Secangkir Bintang".
Dengan mengesplorasinaskah naskah kuno, gadis ini juga berharap bahwa suatu hari ia bisa menjadi pengajar atau peneliti yang bisa berkeliling dunia.Karena itulah, puisi dan nasib naskah-naskah kuno, merupakan topik obrolan yang paling disukainya. Bahkan, jika ia sedang bercerita tentang naskah-naskah kuno tampak bahwa pembicaraan itu lebih menarik baginya ketimbang membicarakan penyakit lupus yang ada dalam tubuhnya. Sinta menuturkan bahwa ia kerap merasa kurang nyaman berada di tengah berbagai kegiatan perkumpulan pengin-dap penyakit yang dilembagakan.
Namun ia merasa terpanggil jika ada orang yang mengajaknya membicarakan kasus penyakit lupus.Tapi saya harus mempersiapkan mental agar saya tidak terpancing ke dalam suasana yang menyedihkan, sehingga membuat saya sendiri jadi gelisah dan cemas. Saya harus menerima semuanya dengan lapang dada. Dulu ketika saya divonis mengidap lupus saya marah dan kecewa sekali.
Tapi sekarang ia saya jadikan teman," katanya. Sejak ia divonis mengin-dap lupus tahun 2006, Sinta giat mencari tahu tentang penyakit tersebut. Dari mulai pengalamannya sendiri, konsultasi dengan para dokter yang merawatnya, hingga mencari berbagai buku dan referensi di internet. Karena penyakit mengerikan ini dalam dunia medis belum ada obatnya, maka bagi Sinta obat itu harus ada dalam diri seorang odapus. Dan itu adalah se-mangat hidup dan merasa berbahagia."Saya ingin sekali merasakan obat itu, karena saya ingin sembuh. Dan obat itu adalah kebahagiaan," ujarnya dengan semangat.
Akan tetapi bagaimanakah memunculkan bahagia sedangkan lupus terus menyerang organ tubuh dengan ancaman kematian? Tentu saja tak mudah, terlebih lagi kebahagian itu sangat relatif.Demikian pula bagi Sinta. Namun baginya, sebagai odapus kebahagianitu adalah dengan memaknai hidup dan menghargainya.
Tentu manusiawi sekali jika ia pun merasa takut pada kematian. Akan tapi, seperti juga pada penyakitnya Sinta memandang ketakutan pada kematian itu sebagai teman. Dan itulah yang membuatnya bisa memandang ke arah sebaliknya, ke arah bagaimana menghargai dan memaknai hidup dengan sebuah semangat." Saya masih ingin hidup. Hidup harus hidup. Tapi jika memang kematian itu akhirnya datang, yang saya takutkan hanyalah saya mati sendirian tanpa ada siapa pun," ujar gadis yang hingga sekarang keluarganya belum tahu bahwa ia mengidap lupus. (Ahda Imran)"*
Sumber : http://edyindo.blogspot.com/2012/11/sinopsis-novel-berteman-dengan-kematian.html
Ok, saya Ceritakan Sedikit Sinopsis tentang Novelnya :
" Aku Mau Hidup Seribu Tahun Lagi"
SATU kata yang patut ditiru dari gadis 25 tahun ini, "semangat". Ya, di antara hari-harinya yang dibayangi penyakit lupus, Sinta Ridwan tak pernah patah semangat untuk membuat banyak karya. Menulis puisi, dan novel menjadi salah satu bagian hidupnya. Kajian naskah kuno pun jadi pilihannya untuk dieksplorasi.
Dan benar kata Bung Chairil Anwar. Aku mau hidup seribu tahun lagi...
DEMIKIAN Sinta Ridwan menulis di halaman terakhir bukunya, Berteman dengan Kematian Catatan Gadis Lupus (Ombak2Oio). Sebuah penutup yang terasa berbeda dengan judul buku tersebut. Namun, tampaknya gadis cantik kelahiran Cirebon n Januari 1985 ini, merasa perlu menutup bukunya dengan cara seperti itu untuk melukiskan semangat hidupnya. Meski tahu, sebagai orang pengidap lupus (odapus) ia setiap hari harus berteman dengan ancaman kematian melalui penyakit yang terus mengancam berbagai organ tubuhnya.
Buku ini diluncurkan di Gedung Indonesia Menggugat (GIM) Bandung, Minggu 9 Mei 2010, bertepatan dengan peringatan Hari Lupus Sedunia. Lewat buku yang ditulis dengan gaya catatan harian itu, Sinta tak hanya menuturkan ihwal penyakit lupus dan bagaimana mulanya ia divonis menjadi seorang odapus. Akan tetapi, nyaris mengisahkan seluruh dirinya, dari masa kecil, perceraian kedua orang tuanya, kematian orang-orang yang disayanginya, perjuangannya bekerja keras di Bandung, gaya hidup, hingga perubahan besar pada dirinya dalam memandang hidup ketika lupus bersarang dalam tubuhnya.
Dan satu hal yang amat terasa dalam buku ini adalah semangat hidup. Semangat seorang gadis yang sejak remaja ditempa oleh berbagai pengalaman pahit. Tak cukup hanya penderitaan psikologis akibat keluarganya yang berantakan, penderitaan fisik akibat lupus pun harus diterimanya. Dan itu terjadi ketika ia sedang tumbuh sebagai seorang mahasiswi yang penuh dengan cita-cita.Namun, lupus tidaklah lantas menyurutkan semangat hidup dan cita-citanya. Meski penyakit yang belum ada obatnya ini telah menyerang tubuhnya, setamat menyelesaikan pendidikan di sebuah sekolah tinggi bahasa, sambil bekerja, Sinta meneruskan pendidikannya ke Pascasarjana Jurusan Filologi Unpad. Kini, sambil menyelesaikan tesisnya, ia masih terus menulis puisi. "Secangkir Bintang" merupakan kumpulan puisinya yang pertama.
Semangat ini pula yang terasa dalam gaya penulisan bukunya. Seluruh penderitaan sampai yang paling mendebarkan sekalipun, ditulis dengan gaya khas anak muda. Polos, santai, penuh celetukan konyol, dan jauh dari tujuan mendramatisasi nasib demi mendapat empati, apalagi untuk minta dikasihani. Justru dengan cara seperti inilah kesedihan itu amat terasa. Kebersahajaan dan kepolosan seorang-gadis menuturkan penyakit yang mengancam jiwanya, tanpa sedikit pun ia mengeluh.Ingin menulis novel
Bersahaja dan polos, begitulah Sinta Ridwan dalam kesehariannya. Berpakaian santai, selalu berbicara diiringi senyum, kadang terkesan manja dan agak cerewet. Namun sesekali ia bisa bicara penuh semangat, terutama tentang nasib naskah-naskah kuno yang tak terawat dan banyakdi perjualbelikan ke negara asing. Atau tentang aksara Sunda, perjalanannya meneliti naskah kuno ke berbagai kota di Kalimantan, cita-citanya meneruskan studi ke Leiden Belanda, atau mendirikan perpustakaan naskah-naskah Nusantara. Termasuk ceritanya tentang Naskah Wangsaker-ta.
"Saya ingin menulis novel tentang Wangsakerta,"ujar gadis manis ini bersemangat. Wangsakerta merupakan seorang pangeran Cirebon yang merupakan tokoh penting dalam proses penulisan sejarah Nusantara tahun 1698.Memang aneh, di tengah kegandrungan anak-anak muda memilih studi bidang keilmuan yang mudah mendapatkan lapangan kerja, gadis yang pernah menjadi pemain sofbol dan vokalis group band di Cirebon ini, memilih bidang studi filologi yang melulu mengurusi naskah kuno. Alasan ia memilih kajian sastra kuno atau filologi tak bisa dilepaskan dari kesukaannya pada sastra. Di bidang yang satu ini, gadis yang sebelumnya perokok dan suka begadang ini telah menerbitkan kumpulan puisinya yang berjudul "Secangkir Bintang".
Dengan mengesplorasinaskah naskah kuno, gadis ini juga berharap bahwa suatu hari ia bisa menjadi pengajar atau peneliti yang bisa berkeliling dunia.Karena itulah, puisi dan nasib naskah-naskah kuno, merupakan topik obrolan yang paling disukainya. Bahkan, jika ia sedang bercerita tentang naskah-naskah kuno tampak bahwa pembicaraan itu lebih menarik baginya ketimbang membicarakan penyakit lupus yang ada dalam tubuhnya. Sinta menuturkan bahwa ia kerap merasa kurang nyaman berada di tengah berbagai kegiatan perkumpulan pengin-dap penyakit yang dilembagakan.
Namun ia merasa terpanggil jika ada orang yang mengajaknya membicarakan kasus penyakit lupus.Tapi saya harus mempersiapkan mental agar saya tidak terpancing ke dalam suasana yang menyedihkan, sehingga membuat saya sendiri jadi gelisah dan cemas. Saya harus menerima semuanya dengan lapang dada. Dulu ketika saya divonis mengidap lupus saya marah dan kecewa sekali.
Tapi sekarang ia saya jadikan teman," katanya. Sejak ia divonis mengin-dap lupus tahun 2006, Sinta giat mencari tahu tentang penyakit tersebut. Dari mulai pengalamannya sendiri, konsultasi dengan para dokter yang merawatnya, hingga mencari berbagai buku dan referensi di internet. Karena penyakit mengerikan ini dalam dunia medis belum ada obatnya, maka bagi Sinta obat itu harus ada dalam diri seorang odapus. Dan itu adalah se-mangat hidup dan merasa berbahagia."Saya ingin sekali merasakan obat itu, karena saya ingin sembuh. Dan obat itu adalah kebahagiaan," ujarnya dengan semangat.
Akan tetapi bagaimanakah memunculkan bahagia sedangkan lupus terus menyerang organ tubuh dengan ancaman kematian? Tentu saja tak mudah, terlebih lagi kebahagian itu sangat relatif.Demikian pula bagi Sinta. Namun baginya, sebagai odapus kebahagianitu adalah dengan memaknai hidup dan menghargainya.
Tentu manusiawi sekali jika ia pun merasa takut pada kematian. Akan tapi, seperti juga pada penyakitnya Sinta memandang ketakutan pada kematian itu sebagai teman. Dan itulah yang membuatnya bisa memandang ke arah sebaliknya, ke arah bagaimana menghargai dan memaknai hidup dengan sebuah semangat." Saya masih ingin hidup. Hidup harus hidup. Tapi jika memang kematian itu akhirnya datang, yang saya takutkan hanyalah saya mati sendirian tanpa ada siapa pun," ujar gadis yang hingga sekarang keluarganya belum tahu bahwa ia mengidap lupus. (Ahda Imran)"*
Sumber : http://edyindo.blogspot.com/2012/11/sinopsis-novel-berteman-dengan-kematian.html