1 .Kebudayaan Cirebon
Cirebon sebagai daerah pantai Utara Pulau Jawa bagian Barat dalam konteks sejarahnya terbukti mampu melahirkan kebudayaan yang berangkat dari nilai tradisi dan agama. Tak pelak kesenian yang mengiringi kebudayaan Cirebon memasukkan unsur-unsur agama di dalamnya. Dalam kaitan ini kesenian yang pada mulanya merupakan sarana dakwah agama (Islam) menjadi semacam oase di padang gurun. Betapa tidak. Syekh Syarif Hidayatullah yang juga dikenal dengan nama Sunan Gunungjati bermukim di Cirebon mengembangkan agama melalui pendekatan kultural.Kebudayaan Cirebon yang bukan Jawa dan bukan Sunda itu akhirnya memiliki ciri khas sendiri. Yakni adanya keberanian untuk mengadopsi nilai lama dengan nilai baru (saat itu) saat agama Islam mulai diajarkan Sunan Gunungjati. Dalam pentas kesenian panggung, asimilasi budaya terlihat jelas. Nilai budaya masyarakat pantai dipadukan dengan nilai agama. Tak heran jika kenyataan ini mengundang nilai tambah yang patut disyukuri. Artinya postmodernis sudah berlangsung dalam kesenian tradisi Cirebon. Keberanian seniman tradisi memasukkan unsur baru (ajaran agama Islam) pada kesenian lokal agaknya sepadan dengan nilai posmo.
BUDAYA Cirebon yang kabarnya merupakan budaya serapan Jawa (Kerajaan Mataram) dan Sunda (Kerajaan Sunda Kalapa) itu menempati posisi unik. Dua budaya besar di pulau Jawa itu bertemu di Cirebon. Budaya serapan itu pun makin lengkap bersintesa dengan spiritualitas Islam. Inilah keberbagaian budaya Cirebon. Dan keberbagaian tadi mengisi ruang kesenian lokal. Dari sinilah kemudian muncul seniman rakyat. Seniman yang asik berkarya tanpa terpaku pada intruksi sutradara, sementara ketika tidak manggung mereka menjalani profesi kesehariannya.
Masalah yang terus mengganjal dalam perkembangan budaya Cirebon antara lain (dan ini yang terkuat) ialah keengganan para pemilik kebudayaan itu memelihara dan merasa nyaman dengan kebudayaannya. Kini generasi muda banyak berpaling ke budaya lain yang lebih instan serta kurang mampu mencintai kebudayaannya sendiri. Budaya-budaya instan lengkap dengan berbagai kemudahan dan aksesorinya memukau sejumlah anak muda. Ciri tersebut tampak pada ketidakmampuan berbahasa Cirebon, dan jika mampu itu pun hanya sebatas bahasa pergaulan yang dikenal dengan istilah bagongan. Kirik dan ketek, serta ira dan isun tanpa mengenal kosa kata halus memang masih ada dan terdengar dalam percakapan anak-anak muda. Namun sama sekali abai dengan keseniannya, dan lebih luas dengan kebudayaannya sendiri yang telah mengalami berbagai hantaman zaman. Anak-anak muda telah berpaling ke budaya pop.
Jikalau keadaan ini tidak segera dibenahi, ada kekhawatiran anak-anak muda itu akan terasing dari kebudayaannya. Dan segera setelah itu mereka akan beranggapan bahwa budaya Cirebon cukuplah diletakkan di museum, atau sekadar ada ketika dibincangkan budayawan tua di ruang seminar. Keterasingan terhadap kebudayaan sendiri pada gilirannya akan menghempas kebudayaan pada kondisi yang menguntungkan. Kebudayaan bagai sebuah nilai lama yang layak ditinggalkan lantas digantikan kebudayaan baru yang lebih mampu menawarkan subjektivitas.
ACARA ADAT ISTIADAT CIREBON
Panjang Jimat Tradisi Maulid Nabi di Keraton Cirebon Sejak zaman Khalifah Sholahudin Al Ayubi 1993 M, peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW atau maulid Nabi kerap di istimewakan. Tujuannya, tidak lain untuk mengenang dan selalu meneladani nabi Muhammad SAW.

KARYA SENI KHAS CIREBON
Batik Trusmi Cirebon merupakan batik khas dari daerah trusmi di Cirebon. Motif mega mendung merupakan motif yang paling diminati dan paling populer.
KULINER KHAS CIREBON
Nasi Jamblang adalah makanan khas dari Cirebon, Jawa Barat. Nama Jamblang berasal dari nama daerah di sebelah barat kota Cirebon tempat asal pedagang makanan tersebut. Ciri khas makanan ini adalah penggunaan daun Jati sebagai bungkus nasi. Penyajian makanannya pun bersifat prasmanan.
2. Lagu yang Berkaitan Dengan Manusia & Cinta Kasih
Fix You by Coldplay
When you try your best, but you don't succeed
When you get what you want, but not what you need
When you feel so tired, but you can't sleep
Stuck in reverse
And the tears come streaming down your face
When you lose something you can't replace
When you love someone, but it goes to waste
Could it be worse?
Lights will guide you home
And ignite your bones
And I will try to fix you
And high up above or down below
When you're too in love to let it go
But if you never try you'll never know
Just what you're worth
Lights will guide you home
And ignite your bones
And I will try to fix you
Tears stream down your face
When you lose something you cannot replace
Tears stream down your face
And I...
Tears stream down your face
I promise you I will learn from my mistakes
Tears stream down your face
And I...
Lights will guide you home
And ignite your bones
And I will try to fix you
Fix You diciptakan Chris Martin pada antara 2002 dan 2003 sebagai pelipur kesedihan bagi kekasihnya, yang kemudian menjadi istrinya, Gwyneth Paltrow. Itu ketika aktris asal Amerika Serikat itu tengah sangat berduka gara-gara ayahnya, Bruce Paltrow, meninggal dunia pada tahun 2002. Fix You itu mulai dari semua bebunyian sampai isi syairnya pada dasarnya merupakan janji Chris untuk membantu Gwyneth dalam melupakan sedih.
3. Cerita Pendek yang Berkaitan dengan Keindahan
Terlintas dalam hiruk
pikuknya suasana kedamaian, segores ujung pedang singa padang pasir
membuat derasnya aliran sang pemberani dalam sebuah legenda, istilah
dari ketegaran dan keperkasaan berjuta-juta jasad yang hidup dalam
kematian, penerang langkah perjalanan hidup abadi. Pedih, perih, bahkan
tulang belakang seakan tidak mau lagi menyangga beban yang dikandungnya.
Apakah senyuman burung-burung kenari yang bertengger dibawah lutut dan
kaki pemangsa beringas tidak membawa sebuah arti??? Itulah yang terselip
dalam carut marutnya syaraf yang begitu teratur, seakan satu dari
sekian banyak kebenaran dilontarkan oleh satu saja makhluk sholeh
ciptaan-Nya, sang pujaan setiap insan yang mengerti akan indahnya
keindahan dibalik sebuah benda dimanapun tempatnya. Tapi apakah lilin
mampu menerangi kegelapan dalam mata hatinya??? Sedikit saja tidak akan
ada cahaya terang menampakkan sebuah keindahan dalam pandangan realita
yang setia bersama impian-impian dalam lamunannya. Hanya setitik dalam
jutaan bahkan lebih bintang-bintang dalam ukuran mili meter bahkan tidak
terhingga banyakknya. Hembusan udara penambah syahdu keindahan takkan
menggetarkan gugusan bintang dan gunung-gunung yang menancap dalam
dirinya, sebagai tonggak pertahanan daging hitam pekat dalam jasadnya
yang masih berusaha mempertahankan kekuatan binatang-binatang indah tapi
pemangsa mematikan. Tumbuh-tumbuhan berwarna-warni tapi hanya hitam
putih, seperti halnya bunga sepatu merah warnanya, bunga bogenfil ada
merah, ada putih, kuning namun hanya hitam putih. Benar apa kata
kelelawar bahwa aku adalah secuil bahkan debu sekalipun tak layak untuk
menggambarkanku, tak layak juga q pergunakan sdikitnya kemampuanku untuk
menyakiti kaum yang lemah, padahal aku diberi banyak dari sekian
banyaknya kekuatan hati pada jasad manusia unggulan, aku bisa menguasai
gelapnya malam, aku bisa menaklukkan serangga-serangga dan buah-buahan
yang seolah sudah tercipta khusus buatku sebagai penambah energi dalam
relung-relungnya kegelapan. Benar juga apa kata semut-semut hitam dalam
kegelapan dan tempat-tempat yang hitam pekat, dia mungkin hanya
melihatku jika ada cahaya lilin yang selalu dia jaga dalam tidurnya,
dalam duduknya, dalam berdirinya dalam berbaringnya, dan juga dalam
berjalannya. Tapi sedikit kelemahan sifat dari kelelawar disiang hari
yang lupa dimana singgahnya saat akan mengakhiri perburuannya maka
partikel-partikel cahaya akan semakin redam dan akhirnya hanya akan
terjerumus dalam jurang yang penuh dengan duri, binatang buas, atau
tangan-tangan kejahatan justru akan hadir menghampirinya dengan semangat
halilintar jika dia salah waktu dalam melakukan tugasnya.
Kabut bukanlah sebuah penghalang, malam bukanlah kegelapan dan
tidak menutup kemungkinan ada kebenaran dari ucapan ikan-ikan kecil yang
berenang dengan damai dan tenang, mereka semua bernyanyi tentang
keagungan, mereka menari memperlihatkan tentang kekuasaan sang penguasa
dan dalam basah kuyupnya dalam setiap detiknya ada kebenaran tentang
keindahan yang benar-benar indah jika menyadarinya. Mereka berucap bahwa
siang bukanlah malam yang gelap gulita, sehingga mengganggu
perjalanannya.....!!! Apa yang dia fikirkan dalam atom-atom berserakan
dikepala indahnya itu....???Dia akan menyerukan dan berteriak dengan
sekeras-kerasnya saat lembaran-lembaran kalimat cinta, dan hamparan
surat-surat cinta yang abadi hanya dikatakan indah. Duri menjadi tidak
sabar, pedang menjadi lemah dibakar oleh pemilik api kemungkaran, karena
pedang selalu berusaha berontak untuk menebas batang-batang punya
kelebihan tapi malas dan tidak tahu akan kekuatan yang ada. Suara
tawanya menggelegar bak bom atom yang meluluh lantahkan nagasaki dan
hirosima, serabut akar yang menguatkan kokohnya batang-batang pencakar
langit tidak tergoyahkan oleh hembusan-hembusan bayu siang dan malam,
riak gelombangnya menggunung tinggi beratus-ratus meter mengalahkan
jutaan bahkan lebih makhluk setia dan durjana pembawa petaka kedamaian
sejati, pengap, penat dan kerasnya hati mengejutkan tidur panjangnya
dalam kelam dan sepi serta hambarnya bumbu-bumbu formula pembangkit
kesadaran dan keabadian yang nyata.
Bahasa isyarat_nya telah terhampar dengan jelas, memamerkan
keindahan distiap moment dan kesempatan yang ada...Akankah keindahan itu
juga dapat kumiliki dan kunikmati indahnya keindahan tersebut....??? Ya
ucap kelelawar, bunga-bunga, semut-semut dan ikan-ikan kecil yang
sedang berenang...dan semoga saja itu adalah harapanku yang tiada pernah
punah untuk menikmati indahnya keindahan hidup.
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
"Pendakian ke Gunung Salak"
Embun masih menetes dan kabut masih menyelimuti pagi. Dingin yang datang bersama angin menyusup ke dalam kamar seakan ingin memenuhi ruangan ini. Aku terbangun. “Brrr..dingin betul!” Kubuka jendela. Benar, kabut masih terlihat di halaman rumah mengaburkan pandangan mata dan embun menempati rumput dan dedaunan yang segar. Pagi di rumah nenek, Desa Tapos Udik, Bogor.
Pagi hari hanya udara segar yang melegakan dada dan menenangkan perasaanku. Sepertinya tidak ada tempat yang lebih menyenangkan selain di sini. Pemandangan indah Gunung Salak yang kokoh berdiri, hamparan sawah hijau yang tertata alami, dan aliran sungai Ciampea dengan bebatuan besar dan kecil yang berserakan. Di balik bebatuan itu menjadi tempat mandi ibu-ibu, anak-anak muda, gadis-gadis, maupun bocah-bocah sambil bergurau senang. Ditambah lagi suara-suara burung terdengar diantara pepohonan. Situasi seperti inilah yang membuatku selalu kangen ingin kembali lagi ke desa ini.
Pagi itu, aku ajak Tia, sepupuku, berjalan-jalan santai menyelusuri pematang sawah dan jalan setapak yang sedikit menanjak menuju desa tetangga.
“Udaranya segar, ya” ujarku sambil meregangkan tangan dan meloncat-loncat ringan. Lega rasanya. Tia tampak tersenyum. Tangannya juga mulai digerak-gerakkan.
“Mau kemana lagi, Teh?” Tanya Tia.
“Ke puncak Gunung Salak itu, ya. Aku ingin sekali mendaki Gunung Salak,” aku berhenti sejenak. Kupandangi lekuk dan warna hijau gunung itu dari jarak yang entah berapa kilometer jauhnya. Tapi selalu saja tampak dekat dari tempat berdiri.
Aku selalu kagum melihat timbunan tanah yang menjulang tinggi itu. Gunung Salak merupakan gunung api . Semenjak tahun 1600-an tercatat terjadi beberapa kali letusan, di antaranya rangkaian letusan antara 1668-1699, 1780, 1902-1903, dan 1935. Letusan terakhir terjadi pada tahun 1938, yang terjadi di Kawah Cikuluwung Putri. Di dalam perutnya terdapat lapisan tanah dan batu-batuan yang mengandung mineral serta magma panas yang suatu waktu siap dimuntahkan. Ketika Allah SWT berkehendak, maka gunung-gunung akan meletus dan isinya akan beterbangan bagai laron. SubhanAllah..rasanya bila sudah bisa berdiri di puncaknya, aku akan berteriak.. “Heii…aku melihat kalian!” Senangnya!
Aku memang bukan seorang pendaki gunung karena kecilku dulu tidak terlatih untuk melakukan kegiatan yang ‘menantang’, jadi aku termasuk orang yang takut akan ketinggian.Tapi kekagumanku kepada gunung melebihi pendaki gunung -amatir- yang sering melakukan pendakian, hahaha.
“Serius mau ke Gunung Salak, Teh?” tanya Tia membuyarkan pandanganku.
“Ayo, kapan ya? Aku siaplah…!” ujarku bersemangat. Aku berlari sedikit kencang dan meninggalkan Tia. Menuruni jalan setapak di daerah perbukitan sangat menyenangkan tapi juga harus berhati-hati. Aku sempat tergelincir karena kurang memperhatikan lekuk jalan yang ada dibibir jalan setapak itu. Semangatku sedikit menghapus rasa sakit di pergelangan kaki kanan.
“Tia bilang ke Abah, ya kalau Teteh mau mendaki gunung,” ujar Tia setelah sampai di rumah nenek. Aku anggukkan kepala tanda setuju.
Sore hari, nenek sudah menyediakan teh manis hangat. Kami duduk di beranda rumah. Pandangan di depan mata adalah kebun bunga yang berwarna-warni. Nenek memang senang menanam bunga. Dibantu oleh Mang Arya, nenek menghiasi halaman rumahnya dengan aneka bunga seperti di beranda surgawi.
“Parah mau mendaki gunung, ya?” sapa Mang Arya sedikit mengagetkanku. Mang Arya seperti kebanyakan orang Sunda yang kurang fasih melafalkan huruf F. Padahal namaku kan , Farah Maharani.
“Siapa bilang orang Sunda tidak bisa bilang F? PITNAH!”, hahaha…
“Iya, Mang. Bisa antar ke sana, ya?”
“Baik. Nanti ajak juga beberapa saudara biar ramai, ya,”
“Memangnya kalau bertiga saja kenapa?” tanyaku penasaran. Mang Arya cuma tersenyum. Diambilnya gelas berisi teh hangat lalu diminumnya.
Mang Arya ternyata benar-benar serius mempersiapkan segala sesuatu untuk pendakian. Dibawakannya tambang plastik berukuran sedang, 2 buah pisau, 5 batang lilin beserta korek api, tikar, 3 pasang sarung tangan yang sudah terlihat lusuh, dan lentera untuk kemping. Semua diletakkan di teras rumah.
“Jam berapa kita berangkat, Mang?” tanyaku.
“Nanti jam satu malam, yah!”
“Apa?” Aku kaget, sudah tentu. Masa mendaki harus jam satu malam? Belum lagi hari masih gelap dan sudah terbayang udara dingin sangat menusuk. Jam satu malam? Tapi biarlah. Aku kan memang niat ingin mendaki Gunung Salak. Jadi…biarlah udara dingin menyelimuti di kegelapan malam.
Aku, paman, Arif, Hafidz, Nina, Ratih, Tia dan Dian ikut dalam rencana pendakian.Seperti anak-anak pramuka, kami berbaris dengan aba-aba dari Mang Arya. “Siaaap..maju..jalan!” Dengan sikap berbaris yang santai…Saat itu bulan purnama. Cahaya terangnya membantu perjalanan, dingin menusuk tulang, suara-suara hewan yang hanya terdengar malam hari, rasanya memberi sensasi mistis pada perjalanan kami menuju pintu jalur pendakian. Biasanya Gunung Salak dapat didaki dari beberapa jalur pendakian. Puncak yang paling sering didaki adalah puncak II dan I. Jalur yang paling ramai adalah melalui Curug Nangka, di sebelah utara gunung. Melalui jalur ini, orang akan sampai pada puncak Salak II. Puncak Salak I biasanya didaki dari arah timur, yakni Cimelati dekat Cicurug. Salak I bisa juga dicapai dari Salak II, dan dengan banyak kesulitan, dari Sukamantri, Ciapus. Lalu…jalur yang kami lalui ini termasuk jalur mana? Soalnya desa ini bukan wilayah Curug Nangka atau Cimelati. Tapi dekat dengan Curug Luhur dan desa Tendjolaya. Mang Arya tersenyum ketika aku menanyakannya. “Ini jalur warisan.,” ujar Mang Arya kalem.
Lewat jalur warisan ini, kami melalui jalan setapak yang ditutupi dedaunan, ranting-ranting, dan buah-buah kecil berserakan. Semuanya terasa lembab, mungkin dikarenakan udara malam yang berkabut dan berembun. Jalan setapak ini semakin lama semakin menanjak dan harus dilalui hati-hati. Beberapa ranting yang berserakan terasa agak tajam dan di kiri dan kanan jalan penuh rimbunan pohon, ada juga genangan air. yang bisa membuat kaki terperosok. Kami harus saling berpegangan pada sebatang kayu yang dipegang beberapa orang. Pegangan tanganku pada kayu itu sempat terlepas karena kakiku terantuk batu dan aku terhuyung hampir jatuh. Aku beristighfar karena kaget. Belum selesai rasa kagetku, Nina juga sedikit berteriak dan melonjak-lonjak. ” Apa lagi?” Dengan cepat Arif mengarahkan senter ke kaki Nina. Wah…ternyata pada kakinya menempel lintah kecil atau pacet. Binatang ini menghisap darah sehingga badannya yang kecil semakin lama akan membesar. Mang Arya dengan cepat melepaskan pacet itu dari kaki Nina. Duh…
sakitnya!
“Hati-hati.. di sini memang banyak pacet yang menempel pada ranting-ranting pohon atau juga di daun-daun yang lembab.” ujar Arif, sepupuku.
Lintah dan pacet adalah hewan yang dapat hidup di daratan, air tawar, dan laut. Seperti cacing tanah, lintah juga hermaprodit (berkelamin ganda).Lintah dibedakan dari pacet bukan berdasarkan taksonomi, tetapi lebih pada habitat kesukaannya. Lintah sehari-hari hidup di air, sedangkan pacet sehari-harinya melekat pada daun atau batang pohon (di luar air). Hhiii… aku cepat-cepat menurunkan gulungan celana panjangku sampai di bawah mata kaki agar pacet tidak menempel pada kakiku. Ternyata semua yang ikut melakukan hal yang sama. Usaha preventif.
Perjalanan melewati jalan setapak berakhir di tanah lapang tetapi masih di kelilingi pohon-pohon besar dan rindang. Ketinggian tempat ini sudah puluhan meter lebih tinggi dari jalan semula. Pantas saja kakiku terasa pegal dan sempat kram. Semua yang ikut benar-benar merasa lelah. Berbekal tikar yang dibawa, kami duduk dan beristirahat dengan posisi saling mendekat. Mang Arya bilang, di tempat ini masih banyak macan siluman yang lewat. Jadilah kami tak berani berpencar saling menjauh., Suara tonggeret sebutan untuk segala jenis serangga yang mengeluarkan suara nyaring dari pepohonan dan berlangsung lama. Selain Tonggeret, orang Sunda menyebutnya cengreret, orang Jawa menyebutnya garengpung atau uir-uir, tergantung suara yang dikeluarkan, menambah suasana mencekam. Belum lagi angin pegunungan yang sangat dingin membuat sendi-sendi terasa linu dan bulu kuduk berdiri.Saat itu jam tanganku menunjukkan pukul 2.45 pagi. Aku mulai mengantuk tapi tak bisa tidur karena merasakan dingin dan suasana yang mencekam. Bayangkan saja, berada di kawasan hutan Gunung Salak yang berada di ketinggian dan ditutupi pepohonan rindang. Gelap, dingin, beraroma tanah lembab dan dedaunan. Suara-suara binatang malam dan entah suara-suara apa lagi yang terdengar dan membuat imajinasi mistis saat itu. Aku tetap merapatkan tubuh ke punggung Nina. Rasanya ingin beristirahat lebih lama lagi untuk menghilangkan lelah ini. Tapi Mang Arya mulai berdiri dan merapikan barang-barang bawaannya. “Waduh… jalan lagi ya, Mang?” tanyaku dan Dian hampir bersamaan.
“Masih jauh ya perjalanannya, Mang?” tanya Ratih dalam perjalanan kami selanjutnya. Masih melewati jalan setapak. Berharap ada jalan besar dan beraspal, hehehe. Kembali kami jalan berbaris dan bersikap hati-hati dengan banyaknya ranting, batu, dan juga pacet. Beberapa meter jalan telah dilalui, ternyata tercium bau khas belerang. Belerang atau sulfur adalah sebuah zat padat kristalin kuning. Di alam, belerang dapat ditemukan sebagai unsur murni atau sebagai mineral- mineral sulfide dan sulfate. Belerang digunakan untuk bubuk mesiu, korek api, insektisida, dan fungisida. Bau menyengat belerang itu tercium di sebelah kanan . Kami penasaran ingin melihat apakah di jurang itu memang ada letupan belerang yang keluar. Tetapi Mang Arya melarang karena jurang itu sangat dalam dan untuk mendekatinya harus menyusuri semak-semak yang rimbun. Benar-benar penasaran jadinya. Terciumnya belerang sudah menandakan sudah dekatnya salah satu kawah yang ada di Gunung Salak. Dan itu tujuan akhir kami dalam pendakian ini.
Mang Arya merencanakan perjalanan yang lebih cepat ke arah kawah itu. Ada dua jalan bercabang yang tampak sudah pernah dilalui pendaki. Setelah berhenti sejenak untuk mengingat-ingat jalan yang harus dilalui, Mang Arya memberi aba-aba untuk jalan melewati cabang sebelah kiri. Senang rasanya sudah mendekati tempat tujuan. Waktu menunjukkan pukul 03.40. Perjalanan terus berlanjut diselingi obrolan-obrolan kecil dan banyolan dari Arif dan Hafidz sehingga terasa tidak melelahkan.
Beberapa meter berjalan melalui jalur ini, ternyata perjalanan harus dihentikan karena Arif merasa yakin jalur yang kami tempuh salah.
“Waduh sudah capek nih….” ujar Dian, Ratih dan Nina hampir bersamaan.
“Yakin jalurnya salah, Rif?” tanyaku.
“Ya, soalnya dulu tidak ada pohon bambu seperti ini.”
“Itukan dulu, berarti sekarang sudah tumbuh, kali.” sambung Dian.
“Ya, pohon bambu memang cepat pertumbuhannya. Di dunia ini bambu merupakan salah satu tanaman
dengan pertumbuhan paling cepat. Karena memiliki sistem rhizoma-dependen unik, dalam sehari bambu dapat tumbuh sepanjang 60cm (24 inchi) bahkan lebih, tergantung pada kondisi tanah dan klimatologi tempat ia ditanam.pertumbuhan bambu begitu cepat berkembang di daerah-daerah yang dingin dan agak lembab” ujarku menimpali kata-kata Dian.
“Tapi..Aku yakin bukan ini jalannya. Ya kan, Mang?” Arif meminta persetujuan Mang Arya yang sedang mengamati keadaan di tempat ini. Mang Arya mulai mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju. Paniklah semua. Bagaimana mungkin perjalanan yang ditempuh sudah sejauh ini harus salah jalur dan kembali ke jalan semula? Wajah-wajah lelah dan kecewa memenuhi areal jalan berpohon bambu ini. Memang, lebatnya batang-batang bambu rasanya tidak memungkinkan dapat diterobos untuk membuat jalan. tak ada tanda-tanda penebangan sedikitpun apalagi jalan setapak yang bisa dilalui orang. Jadi…putar balik!
“Lewat jalan mana lagi, Mang?”
“Kita pulang saja,ya. Lewat jalan yang lain.”
“Let’s go…!”
Perjalanan pulang terasa lebih cepat melalui jalur yang lain. Tetapi tetap saja di jalan-jalan setapak itu masih banyak pacet yang menempel di ranting-ranting. Sudah separuh perjalanan menuju pulang. Langit terlihat mendung dan udara dingin masih terasa. Pukul 4.10 pagi, cahaya bulan purnama tak lagi terang karena terhalang mendung dan kemudian turun rintik-rintik hujan. Waduh…, butiran air hujannya besar-besar sekali lebih besar dari kelereng. Pletak-pletuk menimpa kepala dan badan terasa sakit juga. Ya, hal ini terjadi karena kami masih berada di ketinggian, jadi butiran air hujan itu masih besar karena belum banyak terurai angin. Kami berlari susul menyusul agar cepat sampai di bawah pohon rindang untuk berteduh. Mang Arya sempat terpeleset. Celana panjang dan sebagian bajunya menjadi basah dan kotor. Kasihan sekali. SubhanAllah benar-benar pengalaman yang luar biasa.
Berteduh di bawah pohon rindang seperti ini sebenarnya bukanlah tempat yang aman. Apalagi jika hujan deras disertai halilintar atau petir dengan munculnya kilatan cahaya sesaat yang menyilaukan dan disusul suara menggelegar yang disebut guruh. Sifat petir yang selalu mengarah ke tempat yang lebih rendah, bisa menyerempet apa saja yang ada di bawahnya. Pohon rindang yang kami jadikan tempat berteduh ini juga bisa saja dicolek petir. Syukurlah sampai hujan mereda tak terjadi hal-hal yang berbahaya.
Perjalanan dilanjutkan kembali. Sebenarnya Mang Arya dan Arif tidak terlalu hafal jalan menuju perkampungan penduduk. Mengandalkan ‘feeling’ kata Arif, kami menyusuri jalan menurun yang basah dan becek karena hujan. Tiba-tiba di persimpangan jalan terlihat seekor anjing yang sedang berdiri dan mengibas-ngibaskan ekornya. Aku sedikit takut juga. Dari manakah asal anjing itu sedangkan perkampungan penduduk belum terlihat. Ketika anjing bergerak ke arah kanan jalan, Mang Arya menyuruh kami mengikuti ke mana anjing itu berjalan.
“Anjing ini pasti ada yang punya. Dia pasti akan pulang ke rumah tuannya.” kata Mang Arya. Ya masuk akal juga. Jadilah kami mengikuti arah jalan anjing itu yang sesekali berhenti dan menoleh ke arah kami. Benar-benar pertolongan dari Allah. Akhirnya tanda-tanda mendekati pemukiman penduduk mulai terlihat. Pada beberapa tanah perbukitan sudah ada pohon-pohon hasil tanaman penduduk. Lega rasanya bisa melihat rumah-rumah penduduk kembali. Suara adzan subuh menggema dari sebuah mushola sederhana. Syahdu terasa sampai tetes air mataku tak kuasa kutahan. Haru dan bahagia menjadi satu. Bersyukur akhirnya aku bisa mendaki Gunung Salak itu meski tidak final. Terlebih bersyukur lagi karena masih bisa kembali pulang dengan selamat. Terbayang seandainya saat berada di ketinggian itu terjadi hal-hal yang mengerikan seperti bertemu macan siluman atau binatang buas lainnya. Apalagi ketika berada di jalur yang salah penuh pohon bambu dan tersesat. Mungkin beberapa hari kemudian sudah banyak anggota Tim SAR yang mencari kami dan mendapati delapan sosok mayat yang tergeletak di hutan bambu Gunung Salak. Aduuhh…mengerikan! Alhamdulillah ya Allah… Kau selamatkan kami dari marabahaya. Saat melaksanakan salat subuh berjamaah rasanya luar biasa. Kebersamaan kami selama pendakian sangat berarti. Kami larut dalam doa dan syukur yang panjang. Setelah itu bersama-sama pula kami beristirahat di mushola itu.
Sumber :
https://muhfajrii.wordpress.com/2013/07/16/kebudayaan-cirebon/
http://lirik.kapanlagi.com/artis/coldplay/fix_you
http://cerpenmu.com/cerpen-kisah-nyata/pendakian-ke-gunung-salak.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar